Faktor-faktor yang mempengaruhi kesembuhan TBC
Jenis kelamin (gender)
Secara epidemiologi dibuktikan
terdapat perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam hal prevalensi infeksi,
progresiviti penyakit, insidens dan kematian akibat TB.18 Perkembangan
penyakit juga mempunyai perbedaan antara laki-laki dan perempuan yaitu
perempuan mempunyai penyakit yang lebih berat pada saat datang ke rumah sakit.
Perempuan lebih sering terlambat datang ke pelayanan kesehatan dibandingkan
dengan laki-laki. Hal ini mungkin berhubungan dengan aib dan rasa malu lebih
dirasakan pada perempuan dibanding laki-laki. Perempuan juga lebih sering
mengalami kekhawatiran akan dikucilkan dari keluarga dan lingkungan akibat penyakitnya.
Hambatan ekonomi dan faktor sosioekonomi kultural turut berperan termasuk
pemahaman tentang penyakit TB paru.19-22
WHO melaporkan setiap tahunnya
penderita TB paru 70% lebih banyak pada laki-laki dibandingkan perempuan.
Secara umum perbandingan antara perempuan dan laki-laki berkisar 1/1,5 – 2,1.21 Kebanyakan
di negara miskin dilaporkan 2/3 kasus TB pada laki-laki dan 1/3 pada perempuan.20 Nakagawa
dkk23 melaporkan pada perempuan ditemukan diagnosis yang
terlambat, sedang laki-laki lebih cenderung pergi ke pelayanan kesehatan ketika
mereka mengetahui pengobatan TB gratis, sedangkan perempuan tidak.
Hudelson dkk24 melaporkan
perempuan lebih sering mendapat hambatan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan
yang menyebabkan penderita TB paru pada perempuan lebih rendah dibandingkan
laki-laki. Penelitian Syafrizal18,19 di RS Persahabatan
didapatkan penderita TB paru lebih banyak pada laki-laki, tetapi BTA sputum
positif, kasus putus berobat, gambaran foto toraks lesi luas dan keberhasilan
pengobatan dengan strategi DOT terlihat lebih tinggi pada perempuan, sedangkan
strategi SAT lebih tinggi pada laki-laki. Pada gambar 2 dijelaskan perbedaan
antara laki-laki dan perempuan dalam pengobatan TB.
Usia
Di negara berkembang mayoriti
individu yang terinfeksi M.tb adalah golongan usia di bawah 50 tahun, sedangkan
di negara maju prevalensi TB sangat rendah pada mereka yang berusia di bawah 50
tahun namun masih tinggi pada golongan yang lebih tua.dikutip dari 18 Syafrizal 19 melaporkan
bahwa di RS Persahabatan penderita TB paru yang paling banyak adalah usia
produktif kerja yaitu kelompok usia 15 – 40 tahun. Pada usia tua, TB mempunyai
tanda dan gejala yang tidak spesifik sehingga sulit terdiagnosis. Patogenesis TB
paru pada usia tua agaknya berasal dari reaktivasi fokus dorman yang telah
terjadi berpuluh tahun lamanya. Reaktivasi berkaitan dengan perkembangan faktor
komorbid yang dihubungkan dengan penurunan cell mediated immunity seperti pada
keganasan, penggunaan obat imunosupresif dan faktor ketuaan.25 Taufik26 melaporkan
di RS Persahabatan TB pada usia tua paling banyak pada kelompok umur di atas 55
tahun. Tabel 1 menerangkan beberapa penyakit kronik yang sering terjadi pada
usia tua yang berhubungan dengan penurunan daya tahan tubuh.
Diabetes melitus (DM)
Diabetes melitus merupakan salah satu
keadaan yang mempermudah reaktivasi infeksi TB paru dengan risiko relatif
berkembangnya TB paru bakteriologik positif sebesar 5 kali lebih tinggi.
Disamping itu DM secara bermakna juga berkaitan dengan MDR TB.27 Hiperglikemi
kronik oleh karena DM akan menyebabkan gangguan fungsi paru melalui mekanisme
glikolisasi dan glikasi asam amino dan lemak. Glikolisasi dan glikasi akan
mengakibatkan penebalan serta perubahan struktur jaringan ikat membran basalis
sehingga terjadi gangguan migrasi serta diferensiasi secara radang. Gangguan
ini akan diperberat apabila terjadi asidosis karena kemampuan mobilisasi PMN,
kemampuan fagositosis, akan indeks kemotaktik pada penderita DM menurun. Pada
penderita DM didapatkan beberapa defisiensi imuniti cell mediated (imuniti
selular) dan paling banyak berpengaruh dengan abnormaliti lekosit
polimorfonuklear (PMN), monosit, dan limfosit. Kadar gula darah yang tinggi
akan memicu terjadinya defek imunologis yang akan menurunkan fungsi netrofil,
monosit maupun limfosit.27,28 BoucotDikutip dari 28 pada
penelitiannya menyatakan makin berat DM yang diderita seseorang makin besar
kemungkinan terkena TB paru dan makin berat penyakitnya. Taufik26 melaporkan
di RS Persahabatan penderita TB paru usia tua dengan DM sebanyak 19 orang
(27,4%) dari populasi 70 orang. Aktiviti TB paru pada penderita DM yang berat
menjadi 3 kali lebih besar dibanding penderita DM biasa dan juga tergantung
pada lamanya DM, beratnya penyakit, kontrol DM dan berat badan. Risiko
menderita TB makin tinggi pada penderita yang berat badannya kurang.
HIV
TB merupakan infeksi oportunistik
yang potensial untuk penderita HIV atau AIDS. TB umumnya merupakan manifestasi
dini bahkan sering merupakan manifestasi klinik pertama dari AIDS. HIV atau
AIDS adalah penyakit infeksi yang gejalanya mencerminkan deficiency immunity
cellular akibat infeksi retrovirus. Ciri utama dari infeksi HIV adalah
menurunnya serta terjadinya disfungsi sel-sel CD4 secara
progresif dibarengi dengan terjadinya defek fungsi makrofag dan monosit.
Diketahui bahwa sel-sel CD4 dan makrofag mempunyai peran
sentral dalam pertahanan tubuh terhadap mikobakterium. Infeksi TB meningkatkan
risiko terjadinya reaktivasi infeksi TB laten disamping meningkatkan risiko
penyakit menjadi progresif pada infeksi paru dan reinfeksi. Jadi antara infeksi
HIV dan TB terjadi interaksi patogenik dua arah (bidirectional pathogenic
interaction) yang memperburuk prognosis penderita.Dikutip dari 14,29,30 Punnotok
dkk31 melaporkan di Thailand terjadi peningkatan risiko MDR TB
12 kali lebih tinggi`pada penderita HIV. Dilaporkan di Afrika HIV merupakan
faktor risiko paling sering terjadi reaktivasi infeksi TB laten dan berhubungan
erat dengan progresi yang cepat menjadi sakit. Pada HIV positif terjadi
kegagalan terapi karena penurunan persentase sel CD4 tetapi
secara statistik tidak signifikan dan juga tidak terjadi peningkatan risiko dan
perubahan radiologis yang luas
Hamil
Pada kehamilan terjadi perubahan
status imun termasuk variasi aktiviti limfosit TH1 dengan TH2.
Peningkatan akumulasi 2 yang dihasilkan dalam plasenta dan
ditemukan konsentrasi yang dominan pada interface plasenta sehingga proteksi
pada fetus berkurang. Efek ini mungkin dimediasi oleh pajanan progesteron
sehingga terjadi peningkatan TH2 dan penekanan proliferasi
limfosit aktivasi N-K cell dan produksi TNF.33 Pengaruh TB paru
pada kehamilan yaitu pengaruh terhadap kehamilan itu sendiri termasuk
persalinan dan pengaruh dari penyakit dan pengobatannya terhadap janin maupun
bayi yang dilahirkan.Dikutip dari 34 Pada penderita TB dengan
kehamilan gejalanya tidak khas dan sering dianggap sebagai gangguan yang
menyertai kehamilan. Pada penelitian setengah sampai dua pertiga perempuan
hamil tidak memberikan gejala. Tidak ditemukan bukti bahwa infeksi TB akan
lebih ringan atau lebih berat pada perempuan hamil dibanding dengan yang tidak.
Pengobatan teratur dan adekuat tidak akan meningkatkan risiko kambuh atau
memperburuk TB paru.35,36 Dilaporkan di Kenya Dikutip
dari 35 kehamilan merupakan faktor risiko terjadinya TB aktif pada
penderita yang terinfeksi HIV, tetapi penelitian Espinal dkk37 di
Santo Dominggo melaporkan ternyata kehamilan tidak meningkatkan risiko
terjadinya TB pada penderita HIV positif dan HIV negatif.
Malnutrisi
Malnutrisi diketahui berhubungan
dengan respons mediated cell dan terjadi peningkatan frekuensi TB. Malnutrisi
berhubungan dengan defisiensi nutrisi spesifik, misalnya penderita yang
mengalami gastrektomi atau prosedur intestinal dengan cara by pass untuk
mengontrol berat badan. Penderita yang kurus lebih sering mendapat TB 3 kali
lebih besar.
Merokok
Pada perokok terjadi gangguan
makrofag.Dikutip dari 33 Yach38 melaporkan
pajanan perokok sigaret akan meningkatkan resistensi saluran napas dan
permeabiliti epitel paru. Hal itu berinteraksi dengan produksi mukosilier yang
akan mengganggu kerja silia. Rokok akan mempengaruhi makrofag menurunkan
responsif antigen, meningkatkan sintesis elastase dan menurunkan produksi
antiprotease. Apabila dipergunakan bersama akan meningkatkan risiko perokok
untuk mendapatkan infeksi termasuk TB. Jadi insidens dan beratnya TB
berhubungan dengan penggunaan rokok. Kapisyzi dkk39 melaporkan
BTA sputum positif lebih tinggi pada perokok dibandingkan bukan perokok.
Masjedi dkk40 melaporkan merokok juga merupakan predisposisi
terjadinya TB karena terjadi nutrisi yang buruk dan respons imuniti yang rendah
dan didapatkan juga konversi sputum lebih rendah pada perokok.
Terapi kortikosteroid
Terapi kortikosteroid dapat
menyebabkan reaktivasi TB belum jelas diketahui. Pada tahun 1994 protokol
American Thoracic Society - Centers for Disease Control (ATS-CDC) melaporkan
bahwa dengan pemberian prednison > 15 mg/hari selama 2 – 3 minggu dapat
meningkatkan terjadinya TB.33 Penggunaan steroid pada TB paru
masih kontroversial, efek steroid dapat menurunkan respons imuniti selular.15
Faktor genetik
Peningkatan risiko TB dilaporkan pada
penelitian gen yaitu ada peningkatan polymorphism pada resistensi natural yang
dihubungkan dengan membran protein-1 (NRAMP-1) dan gen reseptor vitamin D.15
Penyakit ginjal terminal
Penyakit ginjal terminal merupakan
faktor risiko terjadi TB. Dilaporkan di San Fransisco pada tahun 1980 dari 172
penderita yang menjalani hemodialisis jangka panjang terjadi TB. Sesudah 10
tahun dari laporan ditemukan ada gangguan pada makrofag Fc-g receptor
pada 56 penderita yang menderita penyakit ginjal terminal. Diperkirakan mungkin
faktor ini yang menyebabkan pasien uremik menjadi infeksi. Faktor lain yang
mempengaruhi adalah malnutrisi, defisiensi metabolik atau tingginya
glukokortikoid endogen.
Sosial atau lingkungan
Penelitian di New York dari 224
penderita TB paru 68% adalah tunawisma, penderita yang tidak datang dan tidak
menyelesaikan pengobatannya sebesar 89%.Dikutip dari 11 Burman
dkk11 melaporkan bahwa tunawisma dan alkohol merupakan risiko
yang signifikan untuk ketidakpatuhan peserta program DOTS. Tunawisma
menyebabkan nutrisi yang buruk dan imuniti yang berkurang. Alkohol juga dapat
menyebabkan gangguan imuniti selular sehingga terjadi reaktivasi infeksi TB
laten.
Kepatuhan
Pada negara berkembang terjadi gagal
pengobatan karena hilangnya motivasi penderita, informasi mengenai penyakitnya,
efek samping obat, problem ekonomi, sulitnya transportasi, faktor
sosiopsikologis, alamat yang salah, komunikasi yang kurang baik antara
penderita TB paru dengan petugas kesehatan. Ketidakpatuhan untuk berobat secara
teratur bagi penderita TB paru tetap menjadi hambatan untuk mencapai angka
kesembuhan yang tinggi. Kebanyakan penderita tidak datang selama fase intensif
karena tidak adekuatnya motivasi terhadap kepatuhan berobat dan kebanyakan
penderita merasa enak pada akhir fase intensif dan merasa tidak perlu kembali
untuk pengobatan selanjutnya.9,33 O’Boyle dkk42 melaporkan
di kota Kinabalu Sabah Malaysia bahwa kepatuhan dapat ditingkatkan dengan
peningkatan edukasi penderita, keluarga dan populasi umum, mengurangi biaya
transportasi dan lamanya perjalanan. Nuwaha43 melaporkan di
Uganda 92% penderita menyelesaikan pengobatannya. Hal tersebut disebabkan
karena pengobatan penderita pada satu fasiliti kesehatan, baik pada fase
intensif maupun fase lanjutan, pengobatan penderita dekat rumah. Pelatihan dan
supervisi pekerja kesehatan dan penggunaan kemoterapi jangka pendek. Comolet44 melaporkan
peningkatan komunikasi dan perhatian dari petugas kesehatan dapat meningkatkan
penderita untuk menyelesaikan pengobatannya.
Di New York alkohol dan tunawisma
berhubungan sangat erat dengan ketidakpatuhan dan menyebabkan gagalnya terapi
walaupun reaksi toksis OAT selalu dianggap berhubungan dengan ketidakpatuhan,
tetapi bukan merupakan penyebab penting.Dikutip dari 10 Liam10 melaporkan
dengan pemberian konseling yang adekuat dan edukasi penderita berperan dalam
pengobatan TB dan meningkatkan kepatuhan. Ketidakpatuhan tidak hanya
berpengaruh terhadap penderita dan keluarganya tetapi juga pada masyarakat
akibat peningkatan resistensi obat. Konseling dapat membantu penderita mengerti
penyakit dan pengobatannya juga percaya bahwa TB dapat disembuhkan bila mereka
mengikuti regimen pengobatan yang benar. Konseling tidak mengurangi keperluan
supervisi pengobatan tetapi digunakan sebagai strategi tambahan dalam
pengobatan.
PRINSIP PENGOBATAN DENGAN OAT
Pengobatan
TB diberikan dalam 2 tahap yaitu tahap intensif dan lanjutan. Pada tahap
intensif penderita TB paru mendapat obat setiap hari dan diawasi langsung untuk
mencegah terjadinya resistensi terhadap OAT. Pada fase awal / intensif diperlukan
kombinasi bakterisidal dan pencegahan resistensi obat (RHZES) untuk membunuh
kuman dalam jumlah besar dengan cepat yaitu populasi M.tb yang mempunyai
kemampuan multiplikasi cepat dan mencegah terjadinya resistensi obat.
Selanjutnya pada fase lanjutan diberikan obat yang mempunyai aktiviti
sterilisasi (RHZ) untuk membunuh kuman yang kurang aktif atau populasi kuman
yang membelah secara intermiten dan mencegah terjadinya kekambuhan.14,46,
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 3.
Gambar 3. Mekanisme kerja OAT selama fase intensif dan fase
lanjutan yang dapat menyebabkan kesembuhan, gagal pengobatan dan kambuh
Efek samping obat
Pengawasan terhadap efek samping obat
dan bagaimana penanganannya sangat perlu diketahui sehingga lebih terjamin
keteraturan berobat. Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya
resistensi obat. Efek samping yang perlu diwaspadai adalah efek hepatotoksik.
Hampir semua OAT mempunyai efek hepatotoksik kecuali streptomisin.14
Arsyad Dikutip dari 47 melaporkan di RSUP Dr. M. Jamil
Padang dari 58 penderita yang mendapat pengobatan kombinasi rifampisin, INH dan
etambutol terjadi peningkatan fungsi hati paling tinggi pada kelompok
pengobatan 5 dan 6 bulan, walaupun peningkatan ini tidak melebihi dua kali
nilai normal, dan peningkatan faal hati juga terjadi pada usia tua. Sebaliknya
AminDikutip dari 47 pada penelitiannya dengan kombinasi
rifampisin dan INH tidak menemukan pengaruh usia terhadap fungsi hati. Bernida
48 melaporkan di RS Persahabatan kenaikan fungsi hati pada penderita TB paru
yang mendapat pengobatan rifamfisin, INH dan pirazinamid terjadi pada 8%
penderita dalam 4 minggu pertama pengobatan.
Resistensi
Pengobatan yang tidak teratur,
memakai paduan OAT yang tidak atau kurang tepat maupun pengobatan yang terputus
telah mengakibatkan resistensi kuman terhadap obat, Resistensi adalah keadaan
kuman dalam situasi yang tidak peka lagi terhadap suatu obat meskipun dalam
kadar yang tinggi.14 Dasar-dasar yang ditempuh oleh
mikroorganisme sehingga resisten antara lain melalui proses adaptasi dan
mutasi. Adaptasi terjadi karena lingkungan baru sebagai efek kemoterapi
sehingga kuman tersebut mengalami perubahan enzimatik yang selanjutnya
diturunkan ke generasi selanjutnya. Mutasi pada keadaan ini adalah terjadi
proses perubahan genetik pada kuman secara spontan atau mutasi. Makin banyak
jumlah kuman makin mudah timbul mutasi. Mekanisme resistensi kuman TB terhadap
OAT terjadi umumnya melalui proses tersebut yang bervariasi tergantung dari
jenis OAT. MDR-TB merupakan problem utama di dunia. Banyak
faktor yang memberikan kontribusi terhadap resistensi obat pada negara
berkembang termasuk ketidaktahuan penderita tentang penyakitnya, kepatuhan
penderita buruk, pemberian monoterapi atau regimen obat yang tidak efektif,
dosis tidak adekuat, instruksi yang buruk, keteraturan berobat yang rendah,
motivasi penderita kurang, suplai obat yang tidak teratur, bioavailabiliti yang
buruk, dan kualiti obat memberikan kontribusi terjadinya resistensi obat
sekunder. Aditama50 melaporkan Di RS Persahabatan resitensi
primer terhadap dua atau lebih OAT bervariasi antara 0,08% - 2,71 %, sedangkan
resistensi sekunder antara 0,55% - 16,69%. Tanjung51 melaporkan di RS Dr.
Pirngadi Medan terdapat 96% penderita yang resisten terhadap satu atau lebih
gabungan OAT.